Kemarau, Asap dan Kenangan

Ini masih berkisah tentang masa kecilku di kampung pedalaman. Kemarau selalu hadir disetiap tahunnya, bersamaan dengan masa berladang. Biasanya dimulai dari bulai Mei hingga Agustus.

Asap menjadikan bulan berwarna merah di kala malam hari. Kabut terlalu tebal saat pagi menjelang. Dingin serasa masuk ke dalam sumsum tulang pada malam hingga pagi hari. 

Pada saat kemarau datang, sungai dan rawa-rawa kering kerontang. Sungai yang besar pun hanya menyisakan airnya di lubuk-lubuk yang terkenal dalam.

Asap karena pembakaran ladang di sana-sini, menjadikan kakakku yang kedua kambuh batuk lamanya. Begitulah, setiap musim hujan ataupun kemarau batuknya menjadi parah. 

Masa kanak-kanakku sangat istimewa di kala kemarau datang. Bersama orang-orang kampung, kami memansai udang dan ikan di sungai-sungai besar yang airnya masih tersisa. Berangkat pagi-pagi sekali membawa bekal makan siang, kami berjalan hingga satu jam setengah. 

Kala itu umurku baru beranjak sembilan tahun. Tubuhku yang mungil kepayahan menyeserkan mansai ke dalam air. Namun ketika mansai berhasil menangkap udang dan ikan, aku bersorak. Aku dan kakakku berlomba dengan orang-orang memenuhkan takin besar yang dibawa. Hingga sore menjelang, lima kilogram ikan bercampur udang kami dapatkan hari itu. Sedangkan orang-orang bisa membawa pulang puluhan kilogram ikan dan udang.

Bagi kami yang kanak-kanak, masa kemarau adalah masa yang paling menyenangkan. Berbagai kegiatan bisa kami lakukan dengan riang gembira. Menangkap ikan dan udang, mencari buah maram
 
dan beramai-ramai membantu orang-orang membakar ladang.


0 komentar:

Post a Comment

Powered by Blogger.

Followers